Selasa, 09 November 2010

Kunanti di Gerbang Pakuan (bag2)


Sang Ratu Sakti setuju dengan gagasan ini. Tahun 1551M dia turun tahta dan digantikan oleh putranya. Namun benarkah dia tak merasakan maksud sebenarnya dari peralihan kekuasaan ini? Tak ada orang yang tahu dengan pasti. Yang jelas, hanya selang beberapa bulan dari pergantian kekuasaan, Sang Prabu Ratu Sakti wafat dalam tahun itu juga karena sakit yang parah. Hanya secara bisik-bisik saja kalangan istana dan para pengamat politik mendugaduga, bahwa kematian mantan raja ini karena menderita tekanan batin. Dia adalah seorang Raja yang memiliki ambisi besar, yaitu ingin mengembalikan kejayaan Pajajaran ke puncak kejayaan seperti yang dialami pada masa pemerintahan kakek-buyutnya, Sang Prabu Sri Baduga Maharaja (1482-1521M). namun apa daya, bukan kebesaran yang dia dapatkan, melainkan kekacauan dan perpecahan.
Kini sudah berselang sepuluh tahun dari peristiwa itu. Sang Lumahing Majaya, atau Tohaan di Majaya, atau juga dikenal sebagai Sang Prabu Nilakendra sudah berusia 28 tahun. Sepuluh tahun memimpin negara setidaknya dia sudah merasa punya “pengalaman” dan merasa tahu bagaimana caranya mengendalikan pemerintahan.
Sang Prabu Nilakendra selama menyimak kepemimpinan ayahnya hanya menemukan berbagai pertentangan di dalam negri sendiri semata. Penarikan seba (pajak) tinggi yang dilakukan ayahandanya hanya melahirkan kesengsaraan dan ketidakpuasan rakyat. Itulah sebabnya, ketika pimpinan kekuasaan jatuh padanya, Sang Prabu Nilakendra mencoba mengubah gaya kepemimpinan. Dana besar yang dihasilkan melalui pajak tinggi kebanyakan hanya digunakan untuk kepentingan militer dalam upaya menahan serangan musuh. Namun kenyataannya, dana yang tinggi bukan habis untuk menangkal serangan musuh. Selama pemerintahan sang Prabu Ratu Sakti (1543-1551M) tak pernah ada penyerbuan baik dari Banten mau pun dari Cirebon. Hal ini terjadi karena baik Cirebon mau pun Banten sedang membantu Demak dalam melakukan penyerbuan ke Pasuruan. Kekuatan militer Pajajaran yang dihasilkan melalui dana besar sebetulnya hanya dihabiskan untuk berperang dengan sesama orang Pajajaran sendiri. Seperti yang diutarakan terdahulu, karena kebijaksanaan penarikan pajak tinggi, banyak negara kecil di bawah Pajajaran mulai memalingkan muka. Mereka mencoba melakukan pemberontakan dan memisahkan diri. Yang wilayahnya lebih dekat kepada Cirebon atau Banten, lebih memilih memihak mereka dan berganti agama. Negara-negara kecil di wilayah timur Sungai Citarum seperti Sumedanglarang, Karatuan Talaga, Timbanganten atau Gilingwesi, semua telah berpindah agama dan mengabdi kepada Cirebon. Di wilayah barat sepanjang sisi-sisi Sungai Cihaliwung (Ciliwung), negara-negara kecil seperti Muaraberes atau Tanjungbarat sudah menjadi wilayah transisi. Rakyatnya sudah banyak beralih agama dan secara diam-diam sebagian pejabatnya sudah berfihak kepada
Banten. Bercermin kepada kegagalan ayahandanya, Sang Prabu Nilakendra tidak memilih kekerasan dalam mengendalikan pemerintahannya. Kendati pajak tetap ditarik tapi tak seketat seperti yang dilakukan ayahandanya. Sang Prabu mencoba melawan musuh dan penentangnya dengan kelembutan. Bila kakek buyutnya, Sang Prabu Surawisesa gemar berperang (selama 14 tahun memerintah negara, yaitu 1521-1535M terjadi 15 kali pertempuran), adalah Sang Prabu Nilakendra lebih memilih menjauhi perang. Menurutnya, sebenarnya musuh bias dilawan dengan tidak melakukan perlawanan.
“Pada umumnya orang hanya akan menyakiti bila disakiti. Jadi kalau kita tak menyakiti, maka orang pun tak akan menyakiti,” ujar beliau. Karena dasar pemikiran inilah, Sang Prabu Nilakendra tidak merasa takut terhadap musuh. Sebab pada hematnya, selama tak diganggu maka mereka pun tak akan mengganggu. Namun ini adalah jalan pemikiran Raja dan dak mewakili seluruh pemikiran pejabat lainnya.
Padahal para pejabat di bawahnya cenderung tak berpikir begitu. Politik tak mempunyai
kewajiban mematuhi etika filosofis. Musuh tak bisa dicegah hanya karena kita memilih diam. Bahkan tindakan diam yang dilakukan hanya akan mengundang sangka bahwa Pakuan semakin lemah.
Nasib buruk Kerajaan Sunda yang sudah berdiri hampir 900 tahun lamanya (sejak tahun 669M) seperti akan terus berlanjut. Pertikaian demi pertikaian, baik antara Pakuan dengan kekuatan negara agama baru, mau pun dengan sesama orang Pajajaran sendiri seperti tak habis-habisnya. Kini, dalam usia 10 tahun masa kepemimpinan Sang Prabu Nilakendra, kembang-kembang pertikaian seperti akan kembali mencuat kendati belum kentara benar.
Lihatlah, pemuda misterius berkuda hitam yang memasuki dayo Pakuan ini. Apa yang akan dia kerjakan di pusat Kerajaan Pajajaran ini?
***
Orang pintar mengaku pintar itu biasa
orang bodoh mengaku pintar itu petaka
tapi yang paling hebat
orang bodoh mengaku bodoh
sebab itulah yang namanya pintar
Lantunan prepantun (juru pantun) demikian merdu kendati isi syairnya menyengat. Entahlah, apakah para penyimak yang tengah mengelilingi prepantun tua dan buta ini mengerti akan maknanya? Yang jelas orang-orang yang duduk-duduk di bale-bale kedai nasi paling besar di tepi jalan berbalay jawi khita ini menyimak dengan hati suka cita. Hampir semua penyimak kepalanya manggut-manggut karena mengikuti irama dawai kecapi yang dipetik prepantun buta itu.
“Seringkah pertunjukan pantun di sini, Aki?” tanya seorang pemuda berkulit putih halus
bermuka sedikit bundar dan bermata binar yang ikut menyimak pertunjukan pantun ini.
Si orangtua bercelana kampret hitam dengan baju jenis sampir yang ditanya menoleh heran kepada si pemuda.
“Apakah Ki Sanak baru datang ke dayo ini?” tanyanya heran.
Si pemuda agak ragu untuk menjawab. Namun sesudah itu dia mengangguk pelan.
“Ki Sanak datang dari mana?”
Diam sejenak.
“Saya dari Muaraberes …”
“Muaraberes dekat saja dari dayo. Apakah engkau jarang ke dayo Pakuan ini?” tanya orang tua itu kembali menatap heran. Pemuda bermata binar yang menggunakan baju kampret warna nila dan bercelana sontog dengan warna yang sama itu mencoba menghindar dari tatapan orang tua itu.
“Oh … ya aku tahu. Kendati dari sini ke Muaraberes tidak begitu jauh, dan perjalanan tak
begitu sulit, tapi orang tak sebebas dulu dalam melakukan perjalanan ke sini, anak muda…”
tutur orang tua itu lagi mengeluh.”Tapi engkau beruntung anak muda. Kau masih bias melakukan perjalanan ke sini. Bagaimana engkau bisa?” lanjutnya menatap penuh curiga.
“Ah … hanya sekadar keberuntugan saja, Aki!” gumam pemuda berikat kepala kain batik
jenis pupunjengan ini.
“Apa pula tujuanmu datang ke sini?” si orang tua seperti terus menguntitnya.
“Pakuan adalah dayo paling ramai. Bagi orang muda seperti saya, mencari kehidupan lebih baik adalah dambaan utama. Di sini banyak hal-hal menyenangkan. Seniman terbaik ada di sini. Cobalah Aki simak prepantun tua ini. Di Muaraberes tak ada prepantun sebaik ini…” tutur pemuda itu berbasa-basi.
“Hm … hanya prepantun tua yang membosankan. Kerjanya begitu-begitu saja. Kalau tak
menyindir, ya memuji!” potong lelaki tua itu. Si pemuda kini menyungging senyum.
“Kau juga mengetawakan prepantun di sini, anak muda?”
“Saya malah tersenyum karena cemoohanmu, Aki. Menyindir tidak boleh, memujipun kau cerca. Habis, musti bagaimana orang menyimak kehidupan ini?” tanya pemuda berwajah bulat itu.
“Sekarang Pajajaran tengah mengalami masa-masa suram. Di zaman Sang Prabu Ratu Sakti salah dan benar hampir tak ada daya pemisah. Asal mau mengobral puji, kebenaran akan muncul, sebaliknya kita akan menjadi orang bersalah bila berani mengirim sindir. Sekarang zamannya Sang Prabu Nilakendra, tak ada kekerasan. Sang Prabu sungguh pendiam. Tapi yang namanya terlalu, apa pun jenisnya itu tidak baik. Sang Susuhunan muda ini terlalu pendiam. Kerjanya bersunyi-sunyi di dalam kuil. Terlalu pendiam artinya tak ada ambisi. Dan orang tak punya ambisi pun jelek namanya. Lihatlah, karena Sang Prabu terlalu membiarkan sesuatu, giliran rakyat yang bermain dengan ambisi. Wong huma darpa mamangan, tan igar yan tan pepelakan (petani menjadi serakah akan makanan, tidak merasa senang bila tidak bertanam sesuatu). Yang tak sadar akan keadaan, semakin tenggelam dalam keserakahan.
Namun sebaliknya yang merasa prihatin akan situasi, paling banter hanya akan kuat menyodorkan sindiran. Cobalah, sejauh mana sindiran bisa menukik ke dalam kalbu selama kita bermabuk-mabuk akan ambisi dan keserakahan?”
Si pemuda hanya tersenyum tipis namun tak bisa diduga apa maksudnya.

<<   >>